Kejadian
ini berlangsung sekitar bulan September 2000 yang lalu. Tanggal berapa
tepatnya aku sudah lupa. Yang aku ingat, saat itu hubungan Eksanti
dengan Yoga sudah membaik, bahkan aku mendengar mereka telah bertunangan
dan berencana untuk melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat ini.
Ketika itu mereka tinggal dalam sebuah rumah kost yang sama di daerah
Selatan - Jakarta, meskipun berbeda kamar, karena saat itu Yoga sedang
mendapat training di Jakarta selama 6 bulan.
Sebagai bekas teman dan atasan Eksanti, aku memang pernah dikenalkan
dengan Yoga. Yoga ternyata begitu cemburuan. Memang harus aku akui kalau
Eksanti memang cantik, bahkan terlalu cantik untuk ukuran Yoga itu.
Padahal kalau menurutku sih, adalah hal yang biasa kalau serorang lelaki
yang penampilan fisiknya biasa saja, ternyata memiliki seorang pacar
yang cantik. Aku mengatakan Eksanti cantik, bukan merupakan penilaianku
yang subyektif. Banyak teman-temanku lain yang juga berpendapat begitu.
Bahkan beberapa diantaranya berpendapat sama, bahwa Eksanti memiliki sex
appeal yang luar biasa tinggi. Bagi kaum lelaki, jika memandang mata
Eksanti, boleh jadi langsung akan berfantasi macam-macam. Percaya atau
tidak, mata Eksanti begitu sayu seolah-olah ‘pasrah’ ditambah lagi
dengan bibirnya yang seksi dan suka digigit-gigit, kalau Eksanti sedang
gemes. Sungguh suatu ciptaan Tuhan yang sangat eksotis dan sensual.
Ketika aku sempat mengobrol dengan Yoga minggu sebelumnya, secara tidak
sengaja kami menemukan suatu peluang bisnis yang mungkin bisa dikerjakan
bersama antara kantorku dengan kantornya. Pikiran dagangku segera jalan
dan aku menjanjikan untuk menitipkan sebuah proposal kepada Yoga untuk
dibahas oleh tim kantornya di Malang.
Siang itu, sehabis meeting dengan salah satu klienku di sebuah kantor di
daerah Kuningan, aku berencana untuk mampir ke rumah kost Yoga ? yang
juga rumah kost Eksanti - untuk menitipkan proposal yang aku janjikan.
Aku mengendarai mobil menuju tempat kost Yoga. Sesampainya di sana, aku
melihat garasi tempat mobil Yoga biasa diparkir dalam keadaan kosong
yang menandakan Yoga sedang keluar. Namun aku tidak mengurungkan niatku
untuk bertemu dengan Yoga.
Setelah aku memarkir mobil di depan halaman rumah kost itu, aku masuk
menuju ruang tamu yang pada saat itu pintunya dalam keadaan terbuka, dan
langsung menuju ke kamar Yoga. Di dalam rumah itu ada 4 kamar dan kamar
Yoga yang paling pojok, berhadapan dengan kamar Eksanti. Masing-masing
kamar kelihatan tertutup pertanda tidak ada kehidupan di dalam rumah
itu. Aku ingin menulis pesan di pintu kamar Yoga karena memang aku
sangat perlu dengannya.
Sementara aku sedang menuliskan pesan, samar-samar terdengar suara
televisi dari dalam kamar Eksanti, di depan kamar Yoga, pertanda ada
seseorang di dalam kamarnya. Aku memastikan kalau yang di dalam kamar
itu adalah Eksanti, bukannya orang lain. Aku mengetuk pintu perlahan
sambil memanggil nama Eksanti. Tidak beberapa lama kemudian pintu dibuka
kira-kira sekepalan tangan dan aku melihat wajah Eksanti tampak dari
celah pintu yang terbuka.
“Eh, Mas.. cari Mas Yoga yaa.. Tadi pagi sih ditungguin, tapi Mas Yoga buru-buru berangkat Mas”, jawabnya sebelum aku bertanya.
Entah mengapa, ketika menatap mata Eksanti yang sayu itu, pikiranku jadi teringat masa-masa indah yang pernah kami alami dulu.
Aku sambil tersenyum menatapnya seraya bertanya, “Kamu nggak ke kantor hari ini?”
“Lagi kurang enak badan nih, Mas, tadi Santi bangunnya kesiangan, jadi
males banget ke kantor”, jawabnya singkat, sambil menggigit bibir
bawahnya.
Ada rasa menyesal kenapa dia harus membolos ke kantor hari ini.
“Terus, Yoga biasanya jam berapa pulangnya, Santi?”, tanyaku sekedar berbasa-basi.
“Mestinya sih jam 5 nanti, tapi mungkin bisa lebih lama, soalnya Mas
Yoga hari ini ada tugas kelompok bersama teman-teman trainingnya”,
jawabnya agak kesal.
Saat itu kira-kira jam 1 siang berarti Yoga pulang kira-kira 4 atau 5 jam lagi, pikiranku mulai nakal.
Aku mencoba mencari bahan pembicaraan yang kira-kira bisa memperpanjang
obrolan kami agar aku bisa lebih dekat dengan Eksanti. Agak lama aku
terdiam. Aku memandang matanya, memandang bibirnya yang basah. Bibirnya
yang dipoles warna merah menambah sensual bentuknya yang tipis dan
memang sangat indah itu. Semakin lama aku melihatnya semakin aku
berfantasi macam-macam. Sungguh, jantungku deg-degan saat itu. Mata
Eksanti tidak berkedip sekejap pun membalas tatapan mataku. Sebuah
desiran hangat mengalir keras di dadaku, dan aku sungguh yakin Eksanti
pun masih memiliki getar rasa yang sama denganku.
Setelah agak lama kami terdiam, “Teman-teman kamarmu yang lain lagi pada
kemana semua, Santi?”, dengan mata menatap sekeliling aku bertanya
sekenaku, menanyakan keberadaan anak-anak kost yang lain.
“Mas ini mau nyari Mas Yoga atau..”, kata-katanya terputus tapi aku bisa
menerjemahkan kelanjutan kalimatnya dari senyuman di bibirnya.
Akhirnya aku memutuskan untuk to the point aja.
“Aku juga pengin ketemu denganmu, Santi!”, jawabku berpura-pura.
Dia tertawa pelan, “Mas, kenapa, sih?”, ia memandangku lembut.
“Boleh aku masuk, Santi? Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu,”, jawabku lagi.
“Sebentar, ya.. Mas, kamar Santi lagi berantakan nih!”
Eksanti lalu menutup pintu di depanku. Tidak beberapa lama berselang
pintu terbuka kembali, lalu dia mempersilakan aku masuk ke dalam
kamarnya. Aku duduk di atas kasur yang digelar di atas lantai. Eksanti
masih sibuk membereskan pakaian-pakaian yang bertebaran di atas sandaran
kursi sofa. Aku menatap tubuh Eksanti yang membelakangiku.
Saat itu dia mengenakan kaos ketat warna kuning yang memperlihatkan
pangkal lengannya yang mulus. Aku memandang pinggulnya yang ditutup oleh
celana pendek. Tungkainya panjang serta pahanya bulat dan mulus.
Kejantananku menjadi tegang memandang semua keindahannya, ditambah
dengan khayalanku dulu, ketika aku memiliki kesempatan membelai-belai
lembut kedua pangkal pahanya itu.
Kemudian Eksanti duduk di sampingku. Lututnya ditekuk sehingga celananya
agak naik ke atas membuat pahanya semakin terpampang lebar. Kali ini
tanpa malu-malu aku menatapnya dengan sepengetahuan Eksanti. Dia mencoba
menarik turun agak ke bawah ujung celananya untuk menutupi pahanya yang
sedang aku nikmati.
“Mas, mau bicara apa, sih?”, katanya tiba-tiba.
Saat itu otakku berpikir cepat, aku takut kalau sebenarnya aku tidak
punya bahan pembicaraan yang berarti dengannya. Soalnya dalam pikiranku
saat itu cuma ada khayalan-khayalan untuk bercinta dengannya.
“Mmm.. San.. aku beberapa hari ini sering bermimpi,”, kataku berbohong.
Entah dari mana aku mendapatkan kalimat itu, aku sendiri tidak tahu
tetapi aku merasa agak tenang dengan pernyataan itu.
“Mimpi tentang apa, Mas?”, kelihatannya dia begitu serius menangapiku dilihat dari caranya memandangku.
“Tentang kamu, San”, jawabku pelan.
Bukannya terkejut, malah sebaliknya dia tertawa mendengar bualanku.
Sampai-sampai Eksanti menutup mulutnya agar suara tawanya tidak
terdengar terlalu keras.
“Emangnya Mas, mimpi apa sama aku?”, tanyanya penasaran.
“Ya.. biasalah, kamu juga pasti tahu”, jawabku sambil tertunduk.
Tiba-tiba dia memegang tanganku. Aku benar-benar terkejut lalu menoleh ke arahnya.
“Mas ini ada-ada saja, Mas ‘kan sekarang sudah punya yang di rumah,
lagian aku juga ‘kan sudah punya pacar, masa masih mau mimpi-mimpiin
orang lain?”
“Makanya aku juga bingung, Santi. Lagian kalaupun bisa, aku sebenarnya
nggak ingin bermimpi tentang kamu, Santi”, jawabku pura-pura memelas.
Kami sama-sama terdiam. Aku meremas jemari tangannya lalu perlahan aku
mengangkat menuju bibirku. Dia memperhatikanku pada saat aku melabuhkan
ciuman mesra ke punggung tangannya. Aku menggeser posisi dudukku agar
lebih dekat dengan tubuhnya. Aku memandangi wajahnya. Mata kami
berpandangan. Wajahku perlahan mendekati wajahnya, mencari bibirnya,
semakin dekat dan tiba-tiba wajahnya berpaling sehingga mulutku mendarat
di pipinya yang mulus. Kedua tanganku kini bergerak aktif memeluk
tubuhnya.
Tangan kananku menggapai dagunya lalu mengarahkan wajahnya berhadapan
dengan wajahku. Aku meraup mulutnya seketika dengan mulutku. Eksanti
menggeliat pelan sambil menyebutkan namaku.
“Mas.., cukup mas!”, tangannya mencoba mendorong dadaku untuk menghentikan kegiatanku.
Aku menghentikan aksiku, lalu pura-pura meminta maaf kepadanya.
“Maafkan aku, Santi.. aku nggak sanggup lagi jika setiap malam
memimpikan dirimu”, aku pura-pura menunduk lagi seolah-olah menyesali
perbuatanku.
“Aku mengerti Mas, aku juga nggak bisa menyalahkan Mas karena
mimpi-mimpimu itu. Bagaimanapun juga, kita pernah merasa deket Mas”,
sepertinya Eksanti memafkan dan memaklumi perbuatanku barusan.
Aku menatap wajahnya lagi. Ada semacam kesedihan di wajahnya hanya saja
aku tak tahu apa penyebabnya. Pipinya masih kelihatan memerah bekas
cumbuanku tadi.
“Aku juga ingin membantu Mas agar tidak terlalu memikirkanku lagi, tapi..”� kalimatnya terputus.
Dalam hati aku tersenyum dengan kalimat “ingin membantu..” yang diucapkannya.
“Santi, aku cuma ingin pergi berdua denganmu, sekali saja.., sebelum
kamu benar-benar menjadi milik Yoga. Agar aku bisa melupakanmu”, kataku
memohon.
“Kita kan sama-sama sudah ada yang punya, Mas.., nanti kalau ketahuan gimana?”
Nah, kalau sudah sampai disini aku merasa mendapat angin. Kesimpulannya
dia masih mau pergi denganku, asal jangan sampai ketahuan sama Yoga.
“Seandainya ketahuan.. aku akan bertanggung jawab, Santi”, setelah itu aku memeluknya lagi.
Dan kali ini dia benar-benar pasrah dalam pelukanku. Malah tangannya
ikut membalas memeluk tubuhku. Telapak tanganku perlahan mengelus
punggungnya dengan mesra, sementara bibirku tidak tinggal diam menciumi
pipi lalu turun ke lehernya yang jenjang. Eksanti mendesah. Aku menciumi
kulitnya dengan penuh nafsu. Mulutku meraup bibirnya. Eksanti diam
saja. Aku melumat bibirnya, lalu aku menjulurkan lidahku perlahan
seiring mulutnya yang seperti mempersilakan lidahku untuk menjelajah
rongga mulutnya. Nafasnya mulai tidak teratur ketika lidahku memilin
lidahnya.
Kesempatan ini aku gunakan untuk membelai payudaranya. Perlahan telapak
tanganku aku tarik dari punggungnya melalui ketiaknya. Tanpa berhenti
membelai, telapak tanganku kini sudah berada pada sisi payudaranya. Aku
benar-benar hampir tidak bisa menguasai birahiku saat itu. Apalagi aku
sudah sering membayangkan kesempatan seperti saat ini terulang lagi
bersamanya.
Kini telapak tanganku sudah berada di atas gundukan daging di atas
dadanya. Tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil, justru yang
seperti ini yang paling indah menurutku. Pada saat tanganku mulai
meremas payudaranya yang sebelah kanan, tangan Eksanti mencoba menahan
aksiku. Payudaranya masih kencang dan padat membuatku semakin bernafsu
untuk meremas-remasnya.
“Mas, jangan sekarang Mas.. Santi takut..”, katanya berulang kali.
Aku juga merasa tindakanku saat itu betul-betul nekat, apalagi pintu
kamar masih terbuka setengah. Jangan-jangan ada orang lain yang melihat
perbuatan kami. Wah, bisa gawat jadinya.
Aku akhirnya berdiri dari tempat dudukku untuk menenangkan suasana. Aku
bukanlah tipe laki-laki yang suka terburu-buru dalam berbagai hal,
khususnya dalam masalah percintaan.
Aku kini duduk di kursi sofa menghadap Eksanti, sedangkan Eksanti masih
di atas kasur sambil memperbaiki rambut dan kaosnya kuningnya yang agak
kusut.
“Mas, mau ngajak Santi ke mana, sih”, Eksanti menatap wajahku.
“Pokoknya tempat di mana tidak ada orang yang bisa mengganggu ketenangan
kita, Santi”, jawabku sambil memandang permukaan dadanya yang baru saja
aku remas-reMas. Eksanti duduk sambil bersandar dengan kedua tangan di
belakang untuk menahan tubuhnya. Payudaranya jadi kelihatan menonjol.
Aku memandang nakal ke arah payudaranya sambil tersenyum. Kakinya
diluruskan hingga menyentuh telapak kakiku.
“Tapi kalau ketahuan.. Mas yang tanggung jawab, yaa..”, katanya mencoba menuntut penjelasanku lagi.
Aku mengangguk.
“Terus kapan jalan-jalannya, Mas?”,
“Gimana kalo besok sore jam 4, besok ‘kan Jum’at, bisa pulang lebih awal ‘kan?”, tanyaku.
“Ketemu di mana?”, tanyanya penasaran.
“Kamu telepon aku, kasih tahu kamu lagi dimana saat itu, lalu aku akan menjemputmu di sana, gimana?”, tanyaku lagi.
Dia tersenyum menatapku, “Wah, Mas ternyata pintar banget untuk urusan begituan.”, Aku tertawa.
“Tapi aku nggak mau kalau Mas nakalin aku kayak dulu lagi!!,”, tegasnya.
Aku terkejut namun pura-pura mengiyakan, soalnya tadi aku merasa besok
aku sudah bisa menikmati kehangatan tubuh Eksanti seperti dulu lagi.
Makanya besok sengaja aku memilih waktu sore hari karena aku ingin
mengajaknya menginap, kalau dia mau. Namun aku diam saja, yang penting
dia sudah mau aku ajak pergi, tinggal penyelesaiannya saja. Lagian
ngapain dia mesti minta tanggung jawab, seandainya aku tidak berbuat
apa-apa dengannya, pikirku lagi. Ah, lihat besok sajalah.
Pukul 3 siang, akhirnya aku harus kembali ke kantorku, di samping memang
Eksanti juga meminta aku segera pulang karena dia juga takut kalau
tiba-tiba Yoga memergoki kami sedang berdua di kamar. Namun sebelum
pulang aku masih sempat menikmati bibir Eksanti sekali lagi waktu
berdiri di samping pintu. Aku malah sempat menekan tubuh Eksanti hingga
punggungnya bersandar di dinding. Kesempatan ini aku gunakan untuk
menekan kejantananku yang sedari tadi butuh penyaluran ke
selangkangannya. Tetapi hal itu tidak berlangsung lama karena situasinya
memang tidak memungkinkan.
Di kantor.., di rumah.. aku selalu gelisah. Kejantananku senantiasa
menegang membayangkan apa yang telah dan akan aku lakukan terhadap
Eksanti nanti.
Keesokan harinya, disaat aku menunggu tibanya saat bertemu, aku merasa
waktu berjalan begitu lambat. Hingga pukul 5 sore, seperti waktu yang
telah kami sepakati kemarin, aku sedang menanti-nanti telepon dari
Eksanti. Aku mulai gelisah ketika 15 menit telah lewat, namun Eksanti
belum juga meneleponku. Aku mulai menghitung detik-detik yang berlalu
hingga hampir setengah jam, dan tiba-tiba handphoneku berbunyi. Seketika
aku mengangkat telepon itu. Dari seberang sana aku mendengar suara
Eksanti yang sangat aku nanti-nantikan. Eksanti meminta maaf sebelumnya,
karena kesibukannya hari itu tidak memungkinkan baginya untuk pulang
dari kantor lebih awal. Banyak pekerjaannya yang menumpuk, karena
kemarin ia tidak masuk ke kantor. Saat itu ia memintaku untuk
menjemputnya di sebuah wartel dekat pertigaan di seberang kantornya. Aku
langsung menyambar kunci mobil, lalu keluar dari kantorku dan bergegas
menuju wartel tempat di mana Eksanti sedang menungguku.
Aku memarkir mobil di depan wartel itu, dan tak lama berselang aku
melihat Eksanti keluar dari wartel, dengan memakai kaos ketat warna
orange bertuliskan Mickey Mouse (tokoh favoritnya) di bagian dadanya,
dipadukan celana jeans warna abu-abu. Blazer kerjanya telah ia lepas,
dan ditenteng bersama tas kerjanya. Aku masih ingat, ia memang selalu
tampil ke kantor dengan pakaian casual setiap hari Jum’at. Eksanti
langsung naik ke atas mobilku, setelah memastikan tidak ada orang lain
yang mengenalinya di tempat itu.
Aku tersenyum memandangnya. Eksanti kelihatan begitu cantik hari ini.
Bibirnya tidak dipoles dengan lipstik merah seperti biasanya. Ia hanya
menyapukan lipsgloss tipis, yang membuat jantungku semakin deg-degan.
Aku segera menancap gas menuju tol ke arah Ancol.
Selama di perjalanan, aku dan Eksanti bercerita tentang berbagai hal,
termasuk Yoga dan kehidupan keluargaku. Sesampainya di Ancol aku
mengajak Eksanti untuk makan di sebuah rumah makan di tepi laut yang
nuansa romantisnya sangat terasa. Tanpa canggung lagi aku memeluk
pinggang Eksanti, pada saat kami memasuki rumah makan tersebut. Eksanti
juga melingkarkan tangannya di pinggangku. Setelah memesan makanan dan
minuman, aku memeluknya lagi. Tanganku bergerilya di sekitar pinggangnya
yang terbuka. Suasana lesehan di rumah makan itu, yang ruangannya
disekat-sekat menjadi beberapa tempat dengan pembatas dinding bilik yang
cukup tinggi, membuat aku bisa bertindak leluasa kepada Eksanti.
“Tadi malam mimpi lagi, nggak?”, tanyanya memecah keheningan.
“Nggak, tapi aku sempat gelisah nggak bisa tidur karena terus membayangkanmu”, jawabku tanpa malu-malu.
Eksanti tertawa, sambil tangannya mencubit pinggangku. Hari sudah
menjelang malam ketika kami meninggalkan tempat itu. Setelah
berputar-putar di sekitar lokasi pantai, akhirnya aku memutuskan untuk
menyewa sebuah kamar pada sebuah cottages di kawasan Ancol. Semula
Eksanti menolak, karena dia takut kalau kami tidak bisa menahan diri.
Aku akhirnya meyakinkan Eksanti bahwa sebenarnya aku cuma ingin berdua
saja dengannya, sambil memeluk tubuhnya, itu saja.
Akhirnya Eksanti mengalah. Ketika kami telah berada di dalam kamar
cottages itu, Eksanti tampak jadi pendiam. Dia duduk di atas kursi
memandang ke arah laut, sementara aku rebahan di atas tempat tidur. Aku
mencoba mencairkan suasana, dengan kembali bertanya mengenai kesibukan
pekerjaannya hari itu. Selama aku bertanya kepadanya, ia cuma menjawab
singkat dengan kata-kata iya dan tidak. Hanya itu yang keluar dari
mulutnya.
“Mas, pasti kamu menganggap aku cewek murahan, yaa.. kan?”, akhirnya
Eksanti mau mulai membuka pembicaraan juga. Ternyata, dengan mengingat
statusnya saat ini sebagai tunangan Yoga, Eksanti masih belum bisa
menerima perlakuanku yang membawanya ke dalam cottages ini. Namun aku
tidak menyesal karena dalam pikiranku sebenarnya dia sudah tahu apa yang
akan terjadi, sejak kejadian kemarin siang di kamarnya. Tinggal
bagaimana caranya aku bisa mengajaknya bercinta tanpa ada pemaksaan
sedikitpun.
“Santi, aku sudah bilang sejak kemarin kalau aku ingin berduaan saja
bersamamu, sebelum Yoga benar-enar menikahi kamu. Aku hanya ingin
memelukmu tanpa ada rasa takut, itu saja. Dan aku rasa di sinilah
tempatnya”, jawabku mencoba memberikan pengertian kepadanya.
“Tetapi, apa Mas sanggup untuk tidak melakukan yang lebih dari itu?”, Eksanti menatapku dengan sorotan mata tajam.
“Kalau kamu gimana?”, aku malah balik bertanya.
“Aku tanyam, kok malah balik nanya ke aku sih?”, ia bertanya dengan nada agak ketus.
“Aku sanggup, Santi”, tegasku.
Akhirnya dia tersenyum juga. Eksanti lalu berjalan ke arahku menuju
tempat tidur lalu duduk di sampingku. Aku lalu merangkul tubuhnya dan
membaringkan tubuhnya di atas kasur.
“Janji ya, Mas..!”, ujarnya lagi. Aku mengangguk.
Kini aku memeluk tubuh indah Eksanti dengan posisi menyamping, sedang
Eksanti rebah menghadap ke atas langit-langit kamar. Aku mencium
pipinya, sambil jemariku membelai-belai bagian belakang telinganya.
Matanya terpejam seolah menikmati usapan tanganku. Aku memandangi
wajahnya yang manis, hidungnya yang mancung, lalu bibirnya. Aku tidak
tahan untuk berlama-lama menunggu, sehingga akhirnya aku memberanikan
diri untuk mencium bibirnya. Aku melumat bibir tipis itu dengan mesra,
lalu aku mulai menjulurkan lidahku ke dalam mulutnya. Mulutnya terbuka
perlahan menerima lidahku. Cukup lama aku mempermainkan lidahku di dalam
mulutnya. Lidahnya begitu agresif menanggapi permainan lidahku,
sampai-sampai nafas kami berdua menjadi tersengal-sengal tidak
beraturan.
Sesaat kemudian, ciuman kami terhenti untuk menarik nafas, lalu kami
mulai berpagutan lagi.. dan lagi.. Tangan kiriku yang bebas untuk
melakukan sesuatu terhadap Eksanti, kini mulai aku aktifkan. Aku
membelai, meremasi pangkal lengannya yang terbuka. Aku membuka telapak
tanganku, sehingga jempolku bisa menggapai permukaan dadanya sambil
tetap membelai lembut pangkal lengannya. Bibirku kini turun menyapu
kulit putih di lehernya seiring telapak tanganku meraup bukit indah
payudaranya. Eksanti menggeliat bagai cacing kepanasan terkena terik
mentari. Suara rintihan berulang kali keluar dari mulutnya, disaat
lidahku menjulur, menjilat, membasahi, menikmati batang lehernya yang
jenjang.
“Mas, jangan..!”, Eksanti mencoba menarik telapak tanganku yang kini
sedang mereMas, menggelitik payudaranya. Aku tidak peduli lagi. Lagi
pula dia juga tampaknya tidak sungguh-sungguh untuk melarangku. Hanya
mulutnya saja yang seolah melarang, sementara tangannya cuma sebatas
memegang pergelangan tanganku, sambil tetap membiarkan telapak tanganku
terus mengelus dan meremas buah dadanya yang mulai mengeras membusung.
Suasana angin pantai yang dingin di luar sana, sangat kontras dengan
keadaan di dalam kamar tempat kami bergumul. Aku dan Eksanti mulai
merasa kegerahan. Aku akhirnya membuka kaosku sehingga bertelanjang
dada.
“Santi, Mas sangat ingin melihat payudaramu, ‘yang..”, ujarku sambil
mengusap bagian puncak puting payudaranya yang menonjol. Eksanti kembali
menatapku tajam. Mestinya aku tidak perlu memohon kepadanya karena saat
itupun aku sudah membelai dan meremas-remas payudaranya. Tetapi entah
mengapa aku lebih suka jika Eksanti yang membuka kaosnya sendiri
untukku.
“Tapi janji Mas yaa.., cuma yang ini aja”, katanya lagi. Aku cuma
mengangguk, padahal aku tidak tahu apa yang mesti aku janjikan lagi.
Eksanti akhirnya membuka kaos ketat warna orange-nya di depan mataku.
Aku terkagum-kagum ketika menatap dua gundukan daging di dadanya, yang
masih tertutup oleh sebuah berwarna bra berwarna hitam. Payudara itu
begitu membusung, menantang. Bukit-bukit di dada Eksanti naik turun
seiring dengan desah nafasnya yang memburu. Sambil berbaring Eksanti
membuka pengait bra di punggungnya. Punggungnya melengkung indah. Aku
menahan tangan Eksanti ketika dia mencoba untuk menurunkan tali bra-nya
dari atas pundaknya. Justru dengan keadaan bra-nya yang longgar karena
tanpa pengait seperti itu, membuat payudaranya semakin menantang.
Payudaranya sangat putih kontras dengan warna bra-nya, sangat terawat
dan sangat kencang, seperti yang selama ini selalu aku bayang-bayangkan.
“Payudaramu masih tetap bagus sekali. Santi, kamu pintar merawat, yaa..”, aku mencoba mengungkapkan keindahan pada tubuhnya.
“Pantes si Yoga jadi tergila-gila sama dia,”, pikirku.
Lalu, perlahan-lahan aku menarik turun cup bra-nya. Mata Eksanti
terpejam. Perhatianku terfokus ke puting susunya yang berwarna merah
kecoklatan. Lingkarannya tidak begitu besar, namun ujung-ujung puncaknya
begitu runcing dan kaku. Aku mengusap putingnya lalu aku memilin dengan
jemariku. Eksanti mendesah. Mulutku turun ingin mencicipi payudaranya.
“Egkhh..”, rintih Eksanti ketika mulutku melumat puting susunya. Aku
mempermainkan dengan lidah dan gigiku. Sekali-sekali aku menggigit
lembut putingnya, lalu aku hisap kuat-kuat sehingga membuat Eksanti
menarik, menjambak rambutku. Puas menikmati buah dada yang sebelah kiri,
aku mencium buah dada Eksanti yang satunya, yang belum sempat aku
nikmati. Rintihan-rintihan dan desahan kenikmatan silih berganti keluar
dari mulut Eksanti. Sambil menciumi payudara Eksanti, tanganku turun
membelai perutnya yang datar, berhenti sejenak di pusarnya lalu perlahan
turun mengitari lembah di bawah perut Eksanti.
Aku membelai pahanya sebelah dalam terlebih dahulu sebelum aku
memutuskan untuk meraba bagian kewanitaannya yang masih tertutup oleh
celana jeans ketat yang dikenakan Eksanti. Secara tiba-tiba, aku
menghentikan kegiatanku, lalu berdiri di samping ranjang. Eksanti
tertegun sejenak memandangku, lalu matanya terpejam kembali ketika aku
membuka pantalon warna hitam yang aku kenakan. Sengaja aku membiarkan
lampu kamar cottage itu menyala terang, agar aku bisa melihat secara
jelas detil dari setiap inci tubuh Eksanti yang selama ini sering aku
jadikan fantasi seksualku. Aku masih berdiri sambil memandang tubuh
Eksanti yang tergolek di ranjang, menantang. Kulitnya yang putih membuat
mataku tak jemu memandang. Perutnya begitu datar. Celana jeans ketat
yang dipakainya telihat terlalu longgar pada pinggangnya namun pada
bagian pinggulnya begitu pas untuk menunjukkan lekukan pantatnya yang
sempurna.
Puas memandangi tubuh Eksanti, lalu aku membaringkan tubuhku di
sampingnya. Aku merapikan untaian rambut yang menutupi beberapa bagian
pada permukaan wajah dan leher Eksanti. Aku membelai lagi payudaranya.
Aku mencium bibirnya sambil aku masukkan air liurku ke dalam mulutnya.
Eksanti menelannya. Tanganku turun ke bagian perut lalu menerobos masuk
melalui pinggang celana jeans-nya yang memang agak longgar. Jemariku
bergerak lincah mengusap dan membelai selangkangan Eksanti yang masih
tertutup celana dalamnya. Eksanti menahan tanganku, ketika jari tengah
tanganku membelai permukaan celana dalamnya tepat diatas kewanitaannya.
Ia telah basah.. Aku terus mempermainkan jari tengahku untuk menggelitik
bagian yang paling pribadi pada tubuh Eksanti. Pinggul Eksanti perlahan
bergerak ke kiri.., ke kanan.. dan sesekali bergoyang untuk
menetralisir ketegangan yang dialaminya.
“Mas, nanti kita terlalu jauh, Mas..”, ujarnya perlahan sambil menatap
sayu ke arahku. Matanya yang sayu ditambah dengan rangsangan yang tengah
dialaminya, menambah redup bola matanya. Sungguh, aku semakin bernafsu
melihatnya. Aku menggeleng lalu tersenyum, bahkan aku malah menyuruh
Eksanti untuk membuka celana jeans yang dipakainya.
Tangan kanan Eksanti berhenti pada permukaan kancing celananya. Ia
kelihatan ragu-ragu. Aku lalu berbisik mesra ke telinganya, kalau aku
ingin memeluknya dalam keadaan telanjang seperti yang selama ini
senantiasa aku mimpikan. Eksanti lalu membuka kancing dan menurunkan
reitsliting celana jeans-nya. Celana dalam hitam yang dikenakannya
begitu mini sehingga rambut-rambut pubis yang tumbuh di sekitar
kewanitaannya hampir sebagian keluar dari pinggir celana dalamnya. Aku
membantu menarik turun celana jeans Eksanti. Pinggulnya agak dinaikkan
ketika aku agak kesusahan menarik celana jeans itu. Posisi kami kini
sama-sama tinggal mengenakan celana dalam. Tubuhnya tampak semakin seksi
saja. Pahanya begitu mulus. Memang harus aku akui tubuhnya begitu
menarik dan memikat, penuh dengan sex appeal.
Eksanti menarik selimut untuk menutupi permukaan tubuhnya. Aku beringsut
masuk ke dalam selimut lalu memeluk erat tubuh Eksanti. Kami
berpelukan. Aku menarik tangan kirinya untuk menyentuh kepala
kejantananku. Dia tampak terkejut ketika mendapatkan kejantananku yang
tanpa penutup lagi. Memang, sebelum aku masuk ke dalam selimut, aku
sempat melepaskan celana dalamku tanpa sepengetahuan Eksanti. Aku
tersenyum nakal.
“Occhh..”, Eksanti semakin kaget ketika tangannya menyentuh kejantananku yang telah tegak menegang.
“Kenapa, Santi?”, aku bertanya pura-pura tidak mengerti. Padahal aku
tahu dia pasti terkejut karena merasakan betapa telah kuat dan kokohnya
kejantananku saat ini. Eksanti tersenyum malu. Sentuhan kejantananku di
tangannya membuat Eksanti merasa malu, tetapi hati kecilnya mau,
ditambah sedikit rasa takut, mungkin.. Kini, Eksanti mulai berani
membelai dan menggenggam kejantananku. Belaiannya begitu mantap
menandakan Eksanti begitu piawai dalam urusan yang satu ini.
“Tangan kamu semakin pintar yaa.., Santi”, ujarku sambil memandang
tangannya yang mulai mengocok-ngocok lembut sekujur kejantananku.
“Ya, mesti dong..,’kan Mas yang dulu ngajarin Santi!”, jawabnya sambil cekikikan.
Mendapat jawaban pertanyaan seperti itu, entah mengenapa hasrat birahiku
tiba-tiba menjadi semakin liar. Namun aku tetap berusaha bertahan untuk
sementara waktu, sebelum aku merasakan ia benar-benar siap untuk
berpaducinta denganku. Sambil meresapi kenikmatan usapan-usapan yang aku
rasakan di sepanjang kulit batang kejantananku, jari-jemariku yang
nakal mulai masuk dari samping celah celana dalam Eksanti. Telapak
tanganku langsung menyentuh bibir kewanitaannya yang sudah merekah
basah. Jari telunjukku membelai-belai sejumput daging kecil di dalam
lepitan celahnya, sehingga Eksantipun semakin merasakan nikmat semata.
“Kamu mau mencium kejantananku nggak, Santi?”, tanyaku tanpa malu-malu lagi.
Eksanti tertawa sambil mencubit batang kejantananku. Aku meringis.
“Kalau punya Mas yang sekarang, kayaknya Santi nggak bisa?”, ujarnya.
“Kenapa memangnya, apa bedanya punya Mas yang dulu dengan yang sekarang?”, tanyaku penasaran.
“Yang sekarang kayaknya nggak muat di mulutku, soalnya rasanya tambah
besar dari yang dulu..”, selesai berkata demikian Eksanti langsung
tertawa kecil.
“Kalau yang dibawah, gimana?”, tanyaku lagi sambil menusukkan jari tengahku ke dalam lubang kewanitaannya.
Eksanti merintih sambil menahan tanganku. Tetapi jariku sudah terlanjur
tenggelam ke dalam liang senggamanya. Aku merasakan liang kewanitaannya
berdenyut menjepit jariku. Oooch.., pasti nikmat sekali kalau saja
kejantananku yang diurut, pikirku. Tiba-tiba, matanya memandang tajam ke
arahku, dengan muka yang agak berkerut masam.
“Kenapa, Santi, ada apa ‘yang?”, aku bertanya sambil menarik tanganku dari liang kewanitaannya.
Aku tahu dia marah, tetapi apa sebabnya..?
“Anak ini, kok aneh banget, jual mahal lagi”, pikirku. “..atau dia ingat
Yoga, sehingga tiba-tiba ia merasa bersalah?” “..terus ngapain dia mau
aku cumbu sejak kemarin?”, aku masih penasaran dengan sikapnya yang
tiba-tiba berubah.
“Mas ‘kan sudah janji untuk tidak melakukannya, ‘kan?”, tiba-tiba Eksanti berbicara. Aku terdiam.
“Aku tadinya nggak mau kita masuk ke kamar ini, karena aku takut kita
nggak bisa menahan keinginan untuk melakukannya lagi, Mas”, tambahnya
memberikan pengarahan kepadaku. “Bagaimanapun juga khusus untuk yang
satu ini, Santi tidak dapat memberikan buat Mas lagi. Bukan hanya Mas
yang nggak tahan, aku juga sebenarnya sudah nggak tahan.. Aku nggak
munafik, Mas. Tapi.. kumohon, please.. Mas mau mengerti posisiku
sekarang”, sambil berkata demikian Eksanti mencium keningku.
Aku tidak tahu harus berbuat apa saat itu. Dalam posisi yang sudah
sama-sama telanjang, kecuali Eksanti yang masih mengenakan celana
dalamnya, berdua di dalam sebuah kamar di tepi laut yang romantis, dapat
dibayangkan apa sebenarnya yang bakal terjadi. Tetapi kali ini tidaklah
demikian. Bayanganku tentang kenikmatan saat bercinta dengan Eksanti
sirna sudah, atau setidaknya tidak dapat aku rasakan saat ini. Tapi
sampai kapan? Aku jadi berpikiran untuk memaksanya saja melakukan
persetubuhan, tetapi hal itu bertentangan dengan hati nuraniku. Akhirnya
aku cuma bisa pasrah dan diam.
Kejantananku yang tadi aku rasakan telah tegang menantang, tiba-tiba
menjadi lemas dalam genggaman tangan Eksanti. Eksanti meminta maaf
kepadaku, menyadari kalau aku kecewa dengan pernyataannya. Aku merasa
sudah tidak mungkin bisa untuk melanjutkan permainan cinta lagi. Aku
akhirnya meminta ijin kepada Eksanti untuk mandi. Sungguh,.. aku merasa
kecewa sekali.
Di dalam kamar mandi, aku lama terdiam. Aku memandang tubuhku di depan
cermin. Kemudian aku guyur tubuhku dengan air yang mengalir deras dari
shower di atas kepalaku. Aku ingin mendinginkan suhu tubuhku. Tiba-tiba,
aku merasakan ada orang lain yang memelukku dari arah belakang. Aku
terkejut, namun cuma sesaat setelah menyadari, ternyata Eksantilah yang
ada di belakangku. Dia tersenyum memandangku.
“Ecchh.. kamu Santi, jangan deket-deket acchh.., aku masih kesel nih!!”,
gumamku berpura-pura sambil mencoba membalas senyumannya.
“Aku ingin mandi bersamamu, Mas,.. boleh?”, pintanya manja.
Aku tidak menjawab permintaannya. Aku langsung menarik tubuhnya untuk
berhadapan denganku. Masih di bawah guyuran air yang mengalir dari
shower, aku menangkap lengannya, lalu memandang tajam ke arahnya.
Berulang kali tanganku mencoba mengusap wajah cantik sensualnya dari
guyuran air. Rambutnya yang basah semakin menambah keerotisan wajahnya.
Dengan perlahan tanganku menangkap payudaranya dan mengusap, meremas
kuat. Eksanti meringis. Bukannya melarang, Eksanti malah mengambil
sabun, dan mulai menyabuni tubuhku. Mula-mula dari dada, ke belakang
punggung lalu menuju ke bawah, ke batang kejantananku. Aku merasa aneh
atas sikapnya yang berubah-ubah dan suka menggoda. Diusapnya lembut
batang kejantananku yang sedikit demi sedikit mulai mengeras kembali.
Tangannya yang penuh dengan busa sabun, begitu lembut mengocok batang
kejantananku sehingga aku merasa sangat nikmat. Aku tidak tinggal diam,
aku membalas menyabuni sekujur tubuh Eksanti. Aku mengikuti setiap
gerakan yang dibuatnya terhadap tubuhku lalu aku mempraktekkan
kepadanya. Aku membalikkan tubuh Eksanti, sehingga kini ia
membelakangiku. Sengaja aku memposisikan tubuhnya berada di depanku,
agar aku dapat melihat bagian depan tubuhnya pada permukaan cermin di
depannya. Aku melihat ekspressi wajah Eksanti pada permukaan cermin.
Mata kami beradu pandang, sementara tanganku membelai-belai payudaranya
yang mulai mengeras. Aku mempermainkan puncak-puncak putungnya dengan
jemariku, sementara tanganku yang satunya mulai meraba bulu-bulu lebat
di sekitar liang kewanitaan Eksanti. Dengan sedikit membungkukkan tubuh,
aku meraba permukaan bibir kewanitaan Eksanti. Jari tengahku
mempermainkan klitorisnya yang mengeras terkena siraman air. Batang
kejantananku yang kini sudah siap tempur, berada dalam genggaman tangan
Eksanti. Sementara aku merasakan, celah kewanitaan Eksanti juga sudah
mulai mengeluarkan cairan cinta yang meleleh melewati jemari tanganku
yang kini sedang menyusuri lorong di dalamnya.
Aku membalikkan tubuh Eksanti kembali, sehingga kini posisinya
berhadap-hadapan denganku. Aku memeluk tubuh Eksanti sehingga batang
kejantananku menyentuh pusarnya. Tanganku membelai punggungnya, lalu
turun meraba bukit-bukit pantatnya yang membulat indah. Eksanti membalas
pelukanku dengan melingkarkan tangannya di pundakku. Kedua telapak
tanganku meraih pantat Eksanti. Aku meremas dengan sedikit agak kasar,
lalu aku mengangkat agak ke atas, agar batang kejantananku berada tepat
di depan gerbang kewanitaannya.
Kaki Eksanti kini tak lagi menyentuh permukaan lantai kamar mandi. Kaki
Eksanti dengan sendirinya mengangkang ketika aku mengangkat pantatnya.
Meski agak susah namun aku tetap berusaha agar batang kejantananku bisa
masuk merasakan jepitan liang kewanitaan Eksanti. Aku merasakan kepala
kejantananku sudah menyentuh bibir kewanitaan Eksanti. Aku menekan
perlahan, seiring dengan menarik buah pantatnya ke arah tubuhku. Eksanti
menggeliat. Aku merasa kesulitan untuk memasukkan batang batang
kejantananku ke dalam liang kewanitaan Eksanti, karena kejantananku yang
terus-terusan basah terkena air shower.
Akhirnya, aku mengangkat tubuh Eksanti ke luar dari kamar mandi.
Bagaimanapun juga aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini, apalagi
terbukti tadi, Eksanti hanya diam saja ketika aku berusaha menyusupkan
batang kejantananku ke liang senggamanya. Pada saat aku membawanya
menuju tempat tidur, Eksanti melingkarkan kedua kakinya di pinggangku.
Aku membaringkan tubuhnya di atas kasur. Lalu, denhan hati-hati tubuhku
menyusul menimpa ke atas tubuhnya. Kami tidak mempedulikan
butiran-butiran air yang masih menempel di sekujur tubuh kami, sehingga
membasahi permukaan kasur.
Aku menciumi lagi lehernya yang jenjang lalu turun melumat puting
payudaranya. Telapak tanganku terus membelai dan meremasi setiap lekuk
dan tonjolan tubuh Eksanti. Aku kembali melebarkan kedua pahanya, sambil
mengarahkan batang kejantananku ke bibir kewanitaan Eksanti. Eksanti
mengerang lirih. Matanya perlahan terpejam. Giginya menggigit bibir
bawahnya untuk menahan laju birahinya yang semakin kuat. Aku menatap
mata Eksanti penuh hasrat nafsu. Bola matanya seakan memohon kepadaku
untuk segera memasuki tubuhnya.
“Aku ingin bercinta denganmu, Santi”, bisikku pelan, sementara kepala
kejantananku masih menempel di belahan liang kewanitaan Eksanti.
Kata-kataku yang terakhir ini ternyata membuat wajah Eksanti memerah.
Mungkin, ketika bersama Yoga, dia jarang mendengar permintaan yang
terlalu to the point begitu. Aku bisa memastikan, Eksanti agak malu
mendengarnya.
Aku berhenti sesaat untuk menunggu jawaban permohonanku kepadanya,
karena bagaimana pun aku tidak mau melakukan persetubuhan tanpa
memperoleh persetujuan darinya. Aku bukan tipe laki-laki yang demikian.
Bagiku berpaducinta adalah kesepakatan, sepakat berdasarkan kesadaran
tanpa adanya unsur pemaksaan. Eksanti menatapku sendu lalu mengangguk
pelan sebelum memejamkan matanya. Bukan main rasa senangnya hatiku.
Akhirnya.. “..yes!”. Aku berjanji akan memperlakukannya dengan hati-hati
sekali, begitu yang ada dalam fikiranku.
Kini aku berkonsentrasi penuh dengan menuntun batang kejantananku yang
perlahan mulai menyusup melesak ke dalam liang kewanitaan Eksanti.
Mula-mula terasa seret memang, namun aku malah semakin menyukainya.
Perlahan namun pasti, kepala kejantananku membelah liang kewanitaannya
yang ternyata begitu kencang menjepit batang kejantananku. Dinding dalam
kewanitaan Eksanti ternyata sudah begitu licin, sehingga agak
memudahkan kejantananku untuk menyusup lebih ke dalam lagi. Eksanti
memeluk erat tubuhku sambil membenamkan kuku-kukunya di punggungku,
hingga aku agak kesakitan. Namun aku tak peduli.
“Mas, gede banget, occhh..”, Eksanti menjerit lirih. Tangannya turun menangkap batang kejantananku.
“Pelan maas..”, ujarnya berulang kali, padahal aku merasa aku sudah
melakukannya dengan begitu pelan dan hati-hati. Mungkin karena lubang
kewanitaannya tidak pernah lagi dimasuki batang kemaluan seperti milikku
ini. Soalnya aku tahu pasti ukuran kejantanan Yoga, pacar Eksanti
tidaklah sebesar yang aku miliki. Makanya Eksanti agak merasa kesakitan.
Akhirnya batang kejantananku terbenam juga di dalam kewanitaan Eksanti.
Aku berhenti sejenak untuk menikmati denyutan-denyutan yang timbul
akibat kontraksi otot-otot dinding kewanitaan Eksanti. Denyutan itu
begitu kuat, sampai-sampai aku memejamkan mata untuk merasakan
kenikmatan yang begitu sempurna. Aku melumat bibir Eksanti sambil
perlahan-lahan menarik batang kejantananku,.. untuk selanjutnya aku
benamkan lagi, masuk.., keluar.., masuk.., keluar..
Aku meminta Eksanti untuk membuka kelopak matanya. Eksanti menurut. Aku
sangat senang melihat matanya yang semakin sayu menikmati batang
kejantananku yang keluar masuk di dalam kewanitaannya.
“Aku suka kewanitaanmu, Santi, kewanitaanmu masih tetap rapet, ‘yang”,
ujarku sambil merintih keenakan. Sungguh, liang kewanitaan Eksanti masih
terasa enak sekali.
“Icchh.. Mas ngomongnya sekarang vulgar banget”, balasnya sambil tersipu malu, lalu ia mencubit pinggangku.
“Tapi enak ‘kan, ‘yang?”, tanyaku, yang dijawab Eksanti dengan sebuah anggukan kecil.
Aku meminta Eksanti untuk menggoyangkan pinggulnya. Eksanti langsung
mengimbangi gerakanku yang naik turun dengan goyangan memutar pada
pinggangnya.
“Suka batang kejantananku, Santi?”, tanyaku lagi. Eksanti hanya
tersenyum. Batang kejantananku terasa seperti diremas-reMas. Masih
ditambah lagi dengan jepitan liang senggamanya yang sepertinya punya
kekuatan magis untuk menyedot meluluh lantakkan otot-otot kejantananku.
“Makin pintar saja dia menggoyang”, batinku dalam hati.
“Occhh..”, aku menjerit panjang. Rasanya begitu nikmat. Aku mencoba
mengangkat dadaku, membuat jarak dengan dadanya, dengan bertumpu pada
kedua tanganku. Dengan demikian aku semakin bebas dan leluasa untuk
mengeluar-masukkan batang kejantananku ke dalam liang senggama Eksanti.
Aku memperhatikan dengan seksama kejantananku yang keluar masuk lincah
di sana. Dengan posisi seperti ini aku merasa begitu jantan. Eksanti
semakin melebarkan kedua pahanya, sementara tangannya melingkar erat di
pinggangku. Gerakan naik turunku semakin cepat mengimbangi goyangan
pinggul Eksanti yang semakin tidak terkendali.
“Santii.. enak banget, ‘yang, kamu makin pintar, ‘yang..”, ucapku merasa keenakan.
“Kamu juga, Mas.., Santi juga enakk..”, , jawabnya agak malu-malu.
Eksanti merintih dan mengeluarkan erangan-erangan kenikmatan. Berulang
kali mulutnya mengeluarkan kata-kata, “aduh..occhh..”, yang diucapkan
terputus-putus. Aku merasakan liang senggama Eksanti semakin berdenyut
sebagai pertanda Eksanti akan mencapai puncak pendakiannya. Aku juga
merasakan hal yang sama dengannya. Namun aku mencoba bertahan dengan
menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya pelan-pelan, untuk
menurunkan daya rangsangan yang aku alami. Aku tidak ingin segera
menyudahi permainan ini dengan tergesa-gesa.
Aku mempercepat goyanganku ketika aku menyadari Eksanti hampir mencapai
orgasmenya. Aku meremas payudaranya kuat-kuat, seraya mulutku menghisap
dan menggigiti puting susu Eksanti. Aku menghisap dalam-dalam.
“Occhh.. Mas..”, jerit Eksanti panjang.
Aku membenamkan batang kejantananku kuat-kuat ke liang senggamanya
hingga mencapai dasar rongga yang terdalam. Eksanti mendapatkan
kenikmatan yang sempurna. Tubuhnya melengkung indah dan untuk beberapa
saat lamanya tubuhnya mengejang. Kepalaku ditarik kuat-kuat hingga
terbenam di antara dua bukit payudaranya. Pada saat tubuhnya
menghentak-hentak, ternyata aku merasa tidak sanggup lagi untuk bertahan
lebih lama.
“Saanntii.. aakuu.. mau keluaarr.. saayang.. occhh.. hh..”, jeritku.
Aku ingin menarik keluar batang kejantananku dari dalam liang
senggamanya. Namun Eksanti masih ingin tetap merasakan orgasmenya,
sehingga tubuhku serasa dikunci oleh kakinya yang melingkar di
pinggangku. Saat itu juga aku merasa hampir saja memuntahkan cairan
hangat dari ujung kejantananku yang hampir meledak. Aku merasakan
tubuhku bagaikan layang-layang putus yang melayang terbang, tidak
berbobot. Aku tidak sempat menarik keluar batang kejantananku lagi,
karena secara spontan Eksanti juga menarik pantatku kuat ke tubuhnya,
berulang kali. Mulutku yang berada di belahan dada Eksanti menghisap
kuat kulit putihnya, sehingga meninggalkan bekas merah pada disana.
Telapak tanganku mencengkram buah dada Eksanti. Aku meraup semuanya,
sampai-sampai Eksanti merasa agak kesakitan. Aku tak peduli lagi. Hingga
akhirnya.. plash.. plash.. plash.. (8X), spermaku akhirnya muncrat
membasahi lubang sorganya. Aku merasakan nikmat yang tiada duanya
ditambah dengan goyangan pinggul Eksanti pada saat aku mengalami
orgasme.
Tubuhku akhirnya lunglai tak berdaya di atas tubuh Eksanti. Batang
kejantananku masih berada di dalam liang kenikmatan Eksanti. Eksanti
mengusap-usap permukaan punggungku.
“Kamu menyesal, Santi?”, ujarku sambil mencium pipinya. Eksanti
menggeleng pelan sambil membalas membelai rambutku. Aku tersenyum
kepadanya. Eksanti membalas.
Aku meyandarkan kepalaku di dadanya. Jam telah menunjukkan pukul 21:00
dan aku mesti cepat pulang ke rumah, karena tadi aku tidak sempat
membuat alasan untuk pulang terlambat. Begitu pula dengan Eksanti, yang
saat itu telah memiliki kebiasan baru selayaknya calon pasangan suami
istri, yaitu makan malam bersama Yoga di rumah kost mereka.
Sebelum berpisah, kami berciuman untuk beberapa saat. Itu adalah ciuman
kami yang terakhir.., percintaan kami yang terakhir.., sebelum akhirnya
Yoga menikahi Eksanti, 2 bulan kemudian.